Selasa, 12 Juni 2012

10 Curug Terbaik Versi visitbandung2011.blogspot.com

10 AMAZING WATERFALL IN WEST JAVA


CURUG CIGANGSA.

Curug Cingangsa adalah salah satu air terjun dengan panorama alam yang memukau. Sama halnya dengan Curug Cikaso, untuk sampai ke lokasi Anda bisa berjalan kaki ataupun naik perahu kecil melalui sungai yang diantar oleh masyarakat di sana.
Curug Cigangsa terletak di dekat kecamatan Surade, Selatan Sukabumi atau sekitar 22 km sebelum ujung genteng. Curug ini merupakan curug termegah yang pernah saya lihat. Dari Surade letaknya sekitar 1 km dari kota kecamatan, nah untuk mencapainya sungguh suatu tantangan. Mobil dapat dititipkan pada warga, rombongan harus berjalan kaki menuju curug cigangsa. Perjalanan kaki ini sungguh memberikan kesan tersendiri, awalnya melalui jalan rata di sekitar persawahan dan perkebunan dan melintasi suangai nan jernih. Tak disangka sungai tersebut ternyata sungai di atas jalur aliran air curug. Setelah melewati sawah yang permai akhirnya jalan turun tajam, hati-hati jalan licin namun mengasyikkan.



CURUG CIKASO.

Curug Cikaso sebenarnya bernama Curug Luhur, mengalir dari anak sungai Cikaso yang bernama Cicurug. Tapi oleh kebanyakan orang, curug ini lebih dikenal dengan nama Curug Cikaso. Curug Cikaso terbentuk dari tiga titik air terjun yang berdampingan dalam satu lokasi dengan di bagian bawahnya terdapat kolam dengan warna
airnya hijau kebiru-biruan. Kedua titik air terjun dapat terlihat dengan jelas sedangkan yang satu agak tersembunyi dengan tebing yang menghadap ke timur. Curug ini memiliki ketinggian sekitar 50 meter.
Berkunjung ke Curug Cikaso sebaiknya dilakukan pada pagi hari karena bias sinar matahari yang baru terbit akan tercipta dengan jelas dari butir-butir halus cipratan air terjun. Sebaiknya menggunakan jasa pemandu yang tersedia agar tidak tersesat karena untuk menuju lokasi curug ini tidak ada petunjuk jalan. Biaya jasa pemandu berkisar Rp 50000 - 70000.
Di kawasan ini juga terdapat curug yang lain yaitu Curug Cigangsa yang berjarak tempuh ± 30 menit atau sekitar 10 km.
bila kita sedang dalam perjalanan wisata menuju ke Ujung Genteng, kita akan melewati sebuah obyek wisata yang menarik yaitu Curug (air terjun) Cikaso. Obyek wisata ini tidak nampak dari jalan raya dan juga belum memiliki akses jalan untuk menuju kesana. Jalan yang biasa dilewati untuk menuju obyek wisata ini melewati beberapa bidang tanah pribadi milik penduduk setempat, hal inilah yang membuat curug Cikaso kurang begitu banyak pengunjungnya. Untuk meningkatkan jumlah pengunjung, maka pemerintah daerah mau tidak mau harus melakukan upaya pembebasan lahan semata-mata untuk membuat jalan yang memadai menuju curug Cikaso.
Untuk menuju lokasi curug dapat ditempuh dengan dua cara. Yang pertama adalah dengan jalan darat, kendala yang dihadapi dengan cara ini adalah kita tidak dapat menuju lokasi dengan menggunakan kendaraan bermotor apalagi kendaraan roda empat. Jalan darat yang ada berupa jalan kecil yang melewati tanah-tanah huma (ladang) milik penduduk. Ini berarti kita harus meninggalkan kendaraan yang kita gunakan untuk kemudian berjalan kaki menuju lokasi curug.


KABUPATEN Sukabumi ternyata terkenal dengan keanekaragaman wisata alam, mulai dari pantai hingga pegunungannya. Salah satunya yang paling favorit nan megah adalah air terjun Curug Cikaso.
Air terjun dengan ketinggian hampir 80 meter ini memiliki 3 air terjun dan lebar tebingnya hampir 100 meter, tepatnya berada di kampung Ciniti, kelurahan Cibitung, Kecamatan Cibitung, Jampang Kulon. Lokasinya berada sekitar 70 km dari Sukabumi atau sekitar 1,5 jam bila perjalanan menggunakan kendaraan bermotor.
Curug Cikaso dihiasi bebatuan besar di kiri dan kanannya serta pepohonan, sehingga menambah keasrian alam curug ini. Masing-masing air terjun mempunyai nama. Air terjun sebelah kiri bernama Curug Asepan, tengah bernama Curug Meong dan kanan bernama Curug Aki.
Untuk melangkahkan kaki kita sampai di air terjun Curug Cikaso, selain bisa ditempuh dengan berjalan kaki yang menyusuri pematang sawah, juga bisa dicapai dengan naik perahu motor dengan melewati bantaran sungai.
Nama asli Curug Cikaso sebenarnya Curug Ciniti, sesuai nama kampung wilayah tersebut, namun karena melewati aliran sungai Cikaso, maka masyarakat lebih banyak menyebutnya dengan nama Curug Cikaso.
Air terjun Curug Cikaso menjadi favorit bagi wisatawan dalam liburan panjang. Nikmati serunya basah-basahan di air terjun yang cantik ini. Bila sampai di Kampung Ciniti, Anda akan disuguhkan dengan pemandangan sawah dan aliran sungai yang benar-benar bisa memanjakan mata.
Beberapa meter mendekati curug sudah bisa mendengar gemuruh air yang jatuh dari ketinggian. Begitu sampai di Curug Cikaso, mulailah terlihat jelas lukisan alam yang indah. Air yang terjun bebas dari ketinggian hampir 80 meter makin memperkaya pemandangan.

Curug Cikaso terbentang megah dengan deburan airnya yang berwarna putih. Pengunjung akan disuguhkan 3 buah air terjun sekaligus. Bermain air atau berenang di kolam alami hasil hempasan air terjun adalah kegiatan yang paling seru. Jangan takut jika pakaian Anda basah, karena curug sudah dilengkapi oleh fasilitas, Curug Cikaso, lokasi air terjun ini berada di kawasan wisata Ujung Genteng. Cikaso adalah nama sungai yang mengalir dari hulunya yang terletak di Sukabumi Utara hingga berakhir dengan muaranya di Pantai Selatan di daerah Kecamatan Surade, Sukabumi Selatan. Dari hulu hingga muaranya, air sungai Cikaso mengaliri beberapa tebing-tebing yang curam sungai membentuk curahan air terjun yang yang menakjubkan. Lokasi wisata air terjun Cikaso ini akan menjadi pelengkap wisata bahari di Ujung Genteng setelah cukup puas menikmati pesona laut pantai-pantai di Ujung Genteng, inilah lokasi yang tepat untuk berenang di air tawar.

CURUG OROK.

Perjalanan dari Sari Papandayan ke Curug Orok gak terlalu lama, kurang dari setengah jam. Jarak kawasan ini dari ibukota Kecamatan Cikajang cuma 5 Km, sedangkan dari ibukota Kabupaten Garut sekitar 31 Km. Curug Orok sendiri berada di ketinggian 250 meter di atas permukaan laut dengan konfigurasi umum lahan berbukit karena letaknya di kaki gunung Papandayan.
Sebetulnya kalau gak mengingat temen-temen seperjalanan, aku pengen berhenti dulu untuk motret pemandangan, beberapa kali. View from the top selalu memikat hatiku. Menurutku selain tempat tujuan wisatanya, perjalanan menuju ke situ juga gak kalah memorable-nya. Lembah, tikungan, sungai, pepohonan yang diselimuti kabut, jembatan, dan para penduduk setempat yang sedang melakukan kegiatan harian mereka.
Jadi saranku kali ini untuk kalian pembaca setiaku *iya kamu! ;) *, coba deh lain kali klo pas lewat view yang bagus, turun sebentar deh. Berfotolah di situ juga. Selain untuk kenang-kenangan, koleksi foto kalian kan jadinya unik, ada nilai tambahnya selain foto di objek wisata yang semua orang udah tau.
Kalau dari arah Garut, jalan masuk ke lokasi Curug Orok ada di sebelah kiri jalan. Nanti kamu bakal menemukan plang yang bertulisan “Wana Wisata dan Bumi Perkemahan Angling Darma: Curug Orok, Ci Kahuripan, Curug Kembar”. Jangan sampe kelewat yah, soalnya plang itu adanya bukan beberapa meter dari lokasi (supaya kita bisa siap-siap), tapi persis di belokannya, hehehe. Nah di mulut jalan itu ada gapura dan loket tiket masuk, tapi gak ada siapa-siapa di situ. Ternyata tempat beli tiketnya dipindah ke dalam. Jadi, jalan aja terus. Jalanannya berbatu-batu, diapit oleh sedikit pohon teh dan pohon pinus. Waktu kami datang, sedang turun kabut. Di sebelah kiri jalan itu jurang. Pasti bagus sekali view-nya kalau sedang cerah. Tapi karena kabut jadi gak bisa liat apa-apa deh.
Gak lama kami sampai di pelataran parkir. Nah di sini baru bayar tiket deh. Aku rada lupa berapa tiketnya, kalau gak salah sekitar Rp 3000 per orang. Di pelataran parkir itu ada toilet, beberapa warung, mushola, dan beberapa bale-bale.
Hmm, air terjunnya di sebelah mana ya, pikirku. Suaranya kok kayak dari bawah. Eh ternyata emang di bawah alias di lembah! :P Jadi kita harus menuruni jalan yang sudah disiapkan. Sudah dibuat step-stepnya gitu. Tapiiii.. lumayan dalem sih turunnya.
curug orokBegitu nyampe, wiihhh.. dinginnya. Hujan pula. Air terjunnya gak gitu lebar, tapi tinggi dan debit airnya lumayan. Suaranya menderu, dan cipratannya juga ganas. Kalau menghampiri kolamnya, sudah pasti kita basah. Waktu aku menengadah ke atas, wiiihh.. rada serem juga ngebayangin air sederas itu menimpaku. Aku bertanya-tanya, sedalam apa pusaran yang tercipta di tempat air tsb jatuh ya? Tapi gak berniat untuk membuktikan sih, hehe, takut.
Meskipun ingin, tapi kami gak bisa lama-lama di situ. Gak ada yang bawa baju ganti, jadi gak bisa bermain air. Aku motret juga gak bisa sampe puas jadinya. Kameraku sudah basah, ya kena cipratan ya kena hujan. Kalau diterusin takut airnya sempat masuk ke dalam body kamera.
Oya, air terjun ini dinamakan Curug Orok karena konon menurut cerita masyarakat setempat pada tahun 1968 ada seorang wanita muda yang membuang bayinya dari puncak air terjun, sehingga air terjun tersebut dinamakan Curug Orok (dalam bahasa Sunda, orok berarti bayi). Kalau dilihat dari bentuknya curug ini mempunyai 2 curug, namanya masing-masing Curug Orok dan Curug Kembar.
Curug Orok merupakan salah satu air terjun di Garut yang banyak dikunjungi wisatawan. Lokasinya terdapat di Desa Cikandang, Kecamatan Cikajang Kab. Garut.
Menurut cerita pada awalnya di tempat tersebut (curug)ditemukan bayi yang dibuang oleh orang tuanya. Semenjak itu sampai sekarang air terjun itu dikenal dengan nama Curug Orok.
Di tempat tersebut orang bisa bermain, mandi, disamping melihat pemandangan air terjun yang begitu indah. Airnya yang jernih, mengalir dari air pegunungan. Tinggi air terjun kurang lebih 30 meter. Hawa pegunungan yang begitu segar ditambah lokasinya ada di lingkungan kebun teh yang sejuk. Tidak aneh kalau banyak di antara orang yang berkunjung ke sana malas untuk pulang kembali, terbius oleh pemandangan alam Curug Orok. 

Jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke lokasi kurang lebih 45 kilometer dari Kota Garut dan memakan waktu 1,5 jam. Jika memakai kendaraan umum diharuskan menumpang jurusan Garut ? Bungbulang lalu tepatnya berhenti di kebun teh Papandayan sebelum Cisandaan. Sebelum tiba ke lokasi kita harus menuruni tagga yang jaraknya kurang lebih 100 meter dan sampailah di objek wisata Curug Orok.

CURUG MALELA.

Curug Malela salah satu tempat wisata di Kabupaten Bandung yang wajib Anda kunjungi. Curug Malela berada di Kampung Manglid Desa Cicadas, Kec Rongga, Kab. Bandung Barat,  tepatnya di dekat Gunung Halu, sekitar 50 kilometer atau kurang lebih 3 jam ke arah Barat dari Kota Bandung. Curug Malela dapat memberikan atmosfir berbeda bagi para pecinta wisata alam. Wisata alam yang masih asli inilah merupakan “tawaran” yang cukup memikat bagi wisatawan. Ditambah lagi, kemiripan Curug Malela dengan Niagara. 
Sebelum memasuki Curug Malela, dibutuhkan waktu yang cukup lama.  Anda harus jalan kaki melewati kawasan perkebunan teh yang terhampar sangat luas serta harus melewati bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi. Di sepanjang perjalanan, Anda akan merasakan sejuknya suasana pedesaan dan udaranya yang masih bersih. Dibandingkan dengan suasana perkotaan, tentu saja ini sangat berbeda. Jalanan ke arah curug memang kurang memadai. Jika Anda memakai mobil, dibutuhkan mobil yang biasa untuk off road, karena jalan raya menuju ke curug, rusak parah. Begitu juga jika Anda memakai motor, diperlukkan motor trail.  Jika memakai kendaraan yang biasa, dikhawatirkan akan mengalami kerusakan. 
Akses jalan menuju ke Curug Malela masih minim fasilitas. Anda diharapkan berhati-hati dalam perjalanan menuju curug, karena jalanan berbatu, disamping kanan kiri terdapat jurang yang terjal, bertanah merah, dan jalanan akan sangat licin apabila terkena air hujan. Anda harus pintar-pintar memilih jalan, karena jika tidak kendaraan akan terselip di jalanan yang licin. Bagi pecinta wisata alam, disitulah letak keseruannya. Dalam perjalanan, Anda diharapkan selalu memperhatikan petunjuk jalan ke arah curug, agar Anda tidak tersesat ke tempat lain, papan petunjuk jalan memang masih minim. Di beberapa titik ada papan petunjuk tetapi sangat kecil dan hanya beberapa kali terlihat disepanjang perjalanan.
Kendaraan Anda tidak langsung berhenti dekat dengan Curug Malela. Anda diharuskan menyimpan kendaraan jauh dari curug karena lokasi curug harus menuruni gunung terlebih dahulu.  Jarak menuju curug kurang lebih 800 meter dan akses jalan juga masih kurang memadai. Beberapa titik jalan sudah ditembok tapi cukup banyak juga titik jalan yang belum ditembok. Hanya beberapa meter dari pintu masuk dan beberapa meter jalan yang terjal saja yang ditembok. Sedangkan jalan yang tidak begitu terjal dibiarkan alami agar suasana mendaki pegunungan masih dirasakan oleh pengunjung. Disana juga terdapat 2 tempat persinggahan yang disediakan untuk beristirahat serta kamar mandi yang cukup memadai untuk pengunjung curug.


Butuh perjuangan yang luar biasa untuk sampai ke Curug Malela. Sesampainya di curug Anda akan disuguhkan oleh pemandangan alam yang sangat menawan. Air terjun yang tingginya mencapai 40 meter dan lebar 30 meter tersebut, dapat langsung menghilangkan rasa capek. Air terjun dari atas gunung tersebut sangat jernih dan tidak pernah berhenti mengalir ketika musim kemarau, hanya saja jika musim hujan warna air akan berubah menjadi coklat.

CURUG DENG-DENG

Curug Dengdeng terletak di Desa Cikawung Ading, Kampung Caringin dengan Kecamatan Cipatujah di Kabupaten Tasikmalaya dengan koordinat 7°44,814′S 108°6,111′E, Curug Dengdeng dengan memiliki 3 tingkatan curug, yang pertama tingginya 13 m, yang kedua 11 m dan yang ketiga 9 m, dari tingkat pertama dapat terlihat aliran Sungai Cikembang,dinamakan Curug Dengdeng karena tidak rata kondisi Curugnya, untuk akses menuju Curug Dengdeng memerlukan perjalanan yang cukup melelahkan karena kondisi alamnya yang masih sangat alami dengan harus berjalan kaki melewati hutan jati.



CURUG BANDUNG

Curug Bandung merupakan Keajaiban Alam dengan 7 (tujuh) air terjun dalam satu aliran sungai, dari mulai Curug Peuteuy, Curug Picung dan yang terbesar adalah Curug Bandung, Curug ini berada dibawah kaki Gunung Sanggabuana, perjalanan menuju Curug ini cukup berat yaitu jalan kaki sejauh 3 km, tetapi Panorama Alam sangatlah Indah, Asri, jauh dari polusi udara yang ada di Kota Besar.
Walaupun jalan menuju Curug ini hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki Wisata sambil ber Olahraga yang membuat sehat karena udara yang sehat dan bersih. Lokasi Curug Bandung terletak Desa Mekarbuana Kecamatan Tegalwaru 42 km dari Ibu Kota Kabupaten Karawang.



CURUG CIMAHI

Secara geologi Curug Cimahi telah ada sejak hadirnya Gunung Sunda Purba, yang sekarang lebih terkenal dengan Gunung Tangkuban Parahu. Sumber mata air Curug Cimahi ini berasal  dari  mata air Gunung Tangkuban Parahu.
Objek wisata ini terletak di dekat pintu masuk yang berada di sisi jalan Cimahi ke arah Lembang. Untuk mencapai objek wisata dengan panorama alam yang luar biasa indahnya ini, para pengunjung harus melewati jalan setapak berbentuk anak tangga yang menghantarkan pengunjung ke daerah tujuan. Di dalam kawasan Curug Cimahi kita dapat melihat pemandangan alam yang indah sekali, terutama menyaksikan percikan air terjun yang berjatuhan dari atas tebing setinggi 85 meter.
Para pengunjung yang datang ke daerah ini banyak diantaranya yang melanjutkan aktivitasnya dengan berenang dan berendam di areal dekat curug. Selain air yang bersih, sejuknya air yang menyejukan badan, serta lantunan derasnya air terjun yang jatuh ke dasar permukaan tanah menambah keceriaan serta suasana yang menyenangkan ketika pengunjung berkunjung ke daerah ini.


CURUG CIBEUREUM


Temukan keindahan alam yang melekat dengan Curug Cibeureum. Daya tarik berupa air terjun alami ini dapat Anda capai dengan berjalan kaki sambil menikmati keindahan pegunungan, kebun teh laksana permadani, disertai udara sejuk di sepanjang perjalanan. Anda tidak perlu khawatir melakukan trekking menuju air terjun ini karena  tingkat kesulitannya yang sedang.
LOKASI : TNGP Cibodas - Cimacan




CURUG SANGHIYANG TARAJE

Asal mula air terjun ini disebut Sanghiyang Taraje karena pada jaman dahulu air terjun ini digunakan oleh Sangkuriang untuk naik ke langit mengambil bintang atas permintaan Dayang Sumbi. Di dekat air terjun ini juga terdapat sebuah batu berbentuk tapak raksasa yang konon itu adalah tapak Sangkuriang tetapi jarang sekali orang yang dapat menemuinya. Sedangkan batu yang ada di bawah tepat air terjun menurut masyarakat setempat dipercaya sebagai tempat penyimpanan bintang (harta karun) Sangkuriang tetapi konon tempat itu dijaga oleh belut raksasa, dan seringkali dilihat oleh masyarakat.
Kawasan air tejun ini dikelola oleh pihak Perhutani. Adapun masyarakat yang kemudian mencoba untuk mengelola kawasan ini namun hanya pada saat hari raya dan libur nasional.
Luas kawasan air terjun ini 500 m2, tinggi air terjun ini 100 m. Pada saat musim kemarau debit airnya agak mengecil namun airnya menjadi sangat jernih, sedangkan pada saat musim hujan debit airnya menjadi agak besar namun warna airnya menjadi agak keruh.
Taraje (bahasa sunda) artinya ‘Tangga’, curug = air terjun, emang curug ini bentuknya seperti taraje, dan tampak gagah banget, dengan tinggi kurang lebih 80 m-an (ada yang bilang 75, 83 dan 90 m), curug ini indah banget dan masih bisa masuk kategori kekayaan alam yang masih perawan.
Konon katanya sih, kenapa dinamai curug Sanghyang Taraje karena masih ada kaitannya dengan legenda salah satu anaknya Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran, yaitu Kian Santang, yang hendak mengambil bintang untuk Dayang Sumbi melewati curug ini, maka dinamailah curug ini Sanghyang Taraje. Dan konon juga, di area curug ini Kian Santang menyimpan salah satu benda berharganya dan dijaga oleh ular yang sangat besar, dan konon lagi, penduduk sekitar kadang masih suka ngeliat penampakan dari ular besar tersebut…Wallahu ‘alam ya..
Curug yang lokasinya berada di wilayah Pakenjeng Kab. Garut (tepatnya desa Kombongan-Pamulihan) ini, memang cukup terisolir, padahal pemandangannya bagus banget…lokasi yang berada di ketinggian 460-an dpl, bisa ditempuh kurang lebih 2 jam dari kota Garut menuju Bungbulang/Pakenjeng, kondisi jalannya bisa dibilang cukup baik, meski ga bagus2 amat, tapi sepanjang perjalanan kita bakal disuguhin keindahan perkebunan teh dan undakan2 sawah khas tatar Priangan.
Lebih enak sih, dari desa terakhir, kita jalan kaki menuju lokasi curugnya, karena kalo pake kendaraan roda 4 (itupun musti yang 4wd), kondisi jalan yang curam, berbatu dan sempit cukup beresiko, belum lagi area disekitar pos terakhir menuju curug sempit dan susah untuk parkir mobil, apalagi kalo belum hafal medan dan kendaraan yang tidak fit. Pokoknya adrenalin tingkat tinggi deh…
Ada 3 tanjakan-turunan yang cukup curam (ada juga yang panjang) dengan kondisi jalan yang cukup sempit (hanya masuk 1 mobil aja) dan licin apabila setelah diguyur hujan, belom lagi kadang ada yang disebelahnya langsung jurang…ppffffhhhh…cukup menantang…:D


Kecuali kalo pake motor, ato malah pake ojeg sekalian, bisa langsung aja berhenti dekat pos terakhir (yang terbengkalai), dari pos ini ke lokasi curug bisa ditempuh dengan 10 menit jalan kaki saja, itupun udah sangat maksimal. Di lokasi sekitar curug terlihat kalo lokasi ini pernah dikelola, paling tidak dicoba untuk jadi lokasi wisata, keliatan dari ada bangunan yang tampaknya bekas wc umum yang kini udah sangat terbengkalai, tanah lapang pun nyaris tidak ada karena sekarang udah ketutup sama rerumputan yang meninggi dan memenuhi area sekitar curug.
Kalo cuaca mendukung, cerah, Kondisi yang paling bagus buat hunting foto di lokasi curug ini sebenernya jam 11 siang ampe jam 3 sore (pokoknya pas matahari melintas diatas curug) karena terpaan sinar matahari ke dinding tebingnya keren, belom lagi ROL cahaya dari pinggir tebing bikin lebih indah lagi, karena posisi matahari ga lfrontal berhadapan ama curug, jadi masih memungkinkan kalo kita motret curug secara frontal masih bisa dapet background langit yang biru….tops!!
Tapi kalo cuaca mendung dan berkabut, bukan berarti motret curug langsung mati gaya, justru disini uniknya, entah kenapa, curug ini emang lebih pas difoto dikondisi suasana yang berkabut…jadi terkesan mistis dan sedikit mencekam…keindahan mistis yang mencekam…tapi tampak gagah..auranya curugnya jadi aneh deh.
Antisipasi perubahan kondisi cuaca yang cepat berubah jelas musti dilakuin, misalnya jas hujan, dry bag ampe trangia, lumayan dong sambil nunggu hujan beres bisa duduk2 sambil ngupi2 dulu…hehehehe..kalo bukan libur lebaran, jangan harap deh di lokasi ini ada yang jualan..dan warung pun jauh juga…jadi mending logistik udah bawa sendiri aja biar ga kelaparan dan kehausan.
Karena lokasi pondokan yang saya singgahi itu berada setelah curug, tepatnya di desa Kombongan (warganya ramah dan kooperatif), maka jarak tempuh ke curug ga terlalu jauh meski musti jalan kaki, paling 20 menit nyampe..dan sambil cross country dikit, selain hamparan sawah yang berundak-undak, kita bisa liat dua sungai besar yang mengalir di kiri-kanan kita..yang satu aliran sungai dari curug sanghyang Taraje, yang satu lagi aliran dari sungai Cikandang.
Lokasi:  Desa Pakenjeng Kecamatan Pamulihan Kabupaten Garut.

CURUG NEGLASARI

Curug Tujuh Neglasari atau dikenal juga dengan nama Curug Limbung terletak di perkebunan teh Neglasari, di tengah perjalanan antara Garut Kota ke arah selatan menuju Pameungpeuk, Jawa Barat.   Keunikan curug ini ialah jatuhan airnya bertingkat-tingkat membentuk tujuh tingkatan dengan ketinggian 50 m, sehingga memiliki keindahan yang khas.  Setiap tingkatan pada curug ini terdapat kolam air seluas puluhan meter persegi dan berkedalaman 1-3 meter. Jatuhan air dari curug ini mengalir dari sela-sela gunung  termasuk ke dalam bagian dari Gunung Gelap yang hutannya masih asli atau alami.  Air dari Curug Tujuh jatuh menimpa tebing-tebing dari gunung tersebut, sehingga membentuk relief pada dinding gunung dan bentuknya menyerupai tangga yang jumlahnya tujuh.
Curug ini tidak pernah menyusut airnya. Sekalipun kemarau tetap saja ada air yang mengalir di curug tersebut. Yang membedakannya hanya volume air. Sangat kontras jika sedang musim hujan dan musim kemarau
Curug Neglasari ini terletak pada lokasi, perkebunan teh serta udara yang sejuk. Dari arah Garut kurang lebih menghabiskan waktu 2,5 jam, ketika memasuki daerah Neglasari setelah melewati Gunung Gelap. Gunung Gelap sendiri adalah hutan yang masih alami walaupun sudah ada banyak daerah-daerah pemukiman tetapi sangat lebat pepohonannya. Berjalan kaki sejauh 1 km dari jalan utama, menuju obyek wisata Curug Neglasari melewati perkebunan teh dengan udara yang sejuk. Panoramanya indah sekali, dengan hamparan perkebunan teh yang hijau. Daya tarik Curug Neglasari ada pada air terjun dengan yang jatuh dengan ketinggian yang berbeda-beda.
Lokasi:  Kecamatan Cisompet Kabupaten Garut

Minggu, 10 Juni 2012

“Atlantis the Lost Continents Finally Found” ( Prof. Arysio Nunes dos Santos )


 “Atlantis the Lost Continents Finally Found”
( Prof. Arysio Nunes dos Santos )


Prof. Arysio Nunes dos Santos sarjana dan mahaguru ilmu fisika nuklir di Universitas Minas Gerais, di Brazil, menerbitkan buku yang menggemparkan : “Atlantis the Lost Continents Finally Found”. Secara tegas dinyatakannya bahwa lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu itu adalah di Indonesia. Buku Prof. Arysio N. dos Santos sewaktu ditanyakan ke ‘Amazon.com’ seminggu yang lalu ternyata habis tidak bersisa. Bukunya ini terlink ke 400 buah sites di Internet, dan websitenya sendiri menurut Santos selama ini telah dikunjungi sebanyak 2.500.000 visits. Ini adalah iklan gratis untuk mengenalkan Indonesia secara efektif.

Berkata Prof. Arysio Nunes dos Santos, umumnya sarjana Barat tidak satupun yang menyebutkan Indonesia. Hal itu disebabkan karena para penyelidik pada umumnya, mendasarkan teori mereka pada unsur-unsur etnosentrik, sehingga tidak terpikirkan oleh mereka bahwa tempat itu mungkin berada di bagian bumi yang sama sekali lain.

Berkata Prof. Arysio Nunes dos Santos, benua Atlantis yang digambarkan oleh Plato adalah suatu dunia tropis, yang punya banyak hutan, sungai dan pohon buah-buahan, yang kemudian tenggelam karena permukaan air laut naik ketika es di kutub utara mencair. Hanya kawasan pegunungan saja yang tampak dari permukaan laut. Rangkaian gunung berapi itu, kata Arysio, dulu disebut Kepulauan Blest, yang sekarang bernama Indonesia.

Selama ini, benua yang diceritakan Plato 2.500 tahun yang lalu itu adalah benua yang dihuni oleh bangsa Atlantis yang memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir dan gempa bumi. Kisah Atlantis ini dibahas dari masa ke masa, dan upaya penelusuran terus pula dilakukan guna menemukan sisa-sisa peradaban tinggi yang telah dicapai oleh bangsa Atlantis itu.

Pencarian dilakukan di samudera Atlantik, Laut Tengah, Caribea, sampai ke kutub Utara. Pencarian ini sama sekali tidak ada hasilnya, sehingga sebagian orang beranggapan bahwa yang diceritakan Plato itu hanyalah negeri dongeng semata.

Profesor Santos yang ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak pernah ditemukan karena dicari di tempat yang salah. Lokasi yang benar secara menyakinkan adalah Indonesia, katanya. Dia mengatakan bahwa dia sudah meneliti kemungkinan lokasi Atlantis selama 29 tahun terakhir ini. Ilmu yang digunakan Profesor Santos dalam menelusur lokasi Atlantis ini adalah ilmu Geologi, Astronomi, Paleontologi, Archeologi, Linguistik, Ethnologi, dan Comparative Mythology.
Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Prof. Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Profesor Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Bukan kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.
Prof. Aryso Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh. Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.
Prof. Aryso Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. ilmuwan Brazil it berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.
Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.” Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.
Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau.

Benua Atlantis & Peradaban Awal Umat Manusia

Para peneliti AS menyatakan bahwa Atlantis is Indonesia. Hingga kini cerita tentang benua yang hilang ‘Atlantis’ masih terselimuti kabut misteri.
Sebagian orang menganggap Atlantis cuma dongeng belaka, meski tak kurang 5.000 buku soal Atlantis telah ditulis oleh para pakar.
Bagi para arkeolog atau oceanografer modern, Atlantis tetap merupakan objek menarik terutama soal teka-teki dimana sebetulnya lokasi sang benua. Banyak ilmuwan menyebut benua Atlantis terletak di Samudera Atlantik.
Sebagian arkeolog Amerika Serikat (AS) bahkan meyakini benua Atlantis dulunya adalah sebuah pulau besar bernama Sunda Land, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11,600 tahun silam, benua itu tenggelam diterjang banjir besar seiring berakhirnya zaman ais
“Para peneliti AS ini menyatakan bahwa Atlantis is Indonesia,” kata Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Umar Anggara Jenny, Jumat(17/6), di sela-sela rencana gelaran ‘International Symposium on The Dispersal of Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia Archipelago, 28-30 Juni 2005.
Kata Umar, dalam dua dekade terakhir memang diperoleh banyak temuan penting soal penyebaran dan asal usul manusia. Salah satu temuan penting ini adalah hipotesa adanya sebuah pulau besar sekali di Laut Cina Selatan yang tenggelam setelah zaman ais.
Hipotesis itu, kata Umar, berdasarkan pada kajian ilmiah seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang arkeologimolekuler. Tema ini, lanjutnya, bahkan akan menjadi salah satu hal yang diangkat dalam simposium internasional di Solo, 28-30 Juni.
Menurut Umar, salah satu pulau penting yang tersisa dari benua Atlantis - jika memang benar – adalah Pulau Natuna, Riau. Berdasarkan kajian biomolekuler, penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip dengan bangsa Austronesia tertua.
Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut-sebut dalam mitos Plato.Ketika zaman es berakhir, yang ditandai tenggelamnya ‘benua Atlantis’, bangsa Austronesia menyebar ke berbagai penjuru.
Mereka lalu menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang disinggahinya dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Harry Truman Simanjuntak, mengakui memang ada pendapat dari sebagian pakar yang menyatakan bahwa benua Atlantis terletak di Indonesia. Namun hal itu masih debatable.
Yang jelas, terang Harry, memang benar ada sebuah daratan besar yang dahulukala bernama Sunda Land. Luas daratan itu kira-kira dua kali negara India.
“Benar, daratan itu hilang. Dan kini tinggal Sumatra, Jawa atau Kalimantan,” terang Harry. Menurut dia, sah-sah saja para ilmuwan mengatakan bahwa wilayah yang tenggelam itu adalah benua Atlantis yang hilang, meski itu masih menjadi perdebatan.
Dominasi Austronesia Menurut Umar Anggara Jenny, Austronesia sebagai rumpun bahasa merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah manusia. Rumpun ini memiliki sebaran yang paling luas, mencakup lebih dari 1.200 bahasa yang tersebar dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur. Bahasa tersebut kini dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang.
“Pertanyaannya dari mana asal-usul mereka? Mengapa sebarannya begitu meluas dan cepat yakni dalam 3500-5000 tahun yang lalu. Bagaimana cara adaptasinya sehingga memiliki keragaman budaya yang tinggi,” tutur Umar.
Salah satu teori, menurut Harry Truman, mengatakan penutur bahasa Austronesia berasal dari Sunda Land yang tenggelam di akhir zaman es.Populasi yang sudah maju, proto-Austronesia, menyebar hingga ke Asia daratan hingga ke Mesopotamia, mempengaruhi penduduk lokal dan mengembangkan peradaban. “Tapi ini masih diperdebatan.
Indonesia adalah wilayah ahli waris Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia.
MUSIBAH alam beruntun dialami Indonesia. Mulai dari tsunami di Aceh hingga yang mutakhir semburan lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa serupa di wilayah yang dikenal sebagai Benua Atlantis. Apakah ada hubungan antara Indonesia dan Atlantis?
Gambaran tentang Benua Atlantis sepenuhnya bersumber dari Catatan Plato (427 – 347 SM) dalam dua karyanya, yaitu Timaeus dan Critias. dalam bukunya yang diberi judul Timaeus, Plato bercerita sangat menarik tentang Atlantis, Berikut ini kutipannya:
“ Di hadapan Selat Mainstay Haigelisi, ada sebuah pulau yang sangat besar, dari sana kalian dapat pergi ke pulau lainnya, di depan pulau-pulau itu adalah seluruhnya daratan yang dikelilingi laut samudera, itu adalah kerajaan Atlantis. Ketika itu Atlantis baru akan melancarkan perang besar dengan Athena, namun di luar dugaan, Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir, tidak sampai sehari semalam, tenggelam sama sekali di dasar laut, negara besar yang melampaui peradaban tinggi, lenyap dalam semalam.”

 

Terjemahan Latin Timaeus, dibuat pada abad pertengahan.
Plato menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang hilang atau Atlantis.

Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Prof. Arysio Nunes dos Santos, seorang atlantolog, geolog, dan fisikawan nuklir asal Brazil, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia mempublikasikan hasil penelitiannya dalam sebuah buku : Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Konteks Indonesia

Bukan kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene). Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru / Sumeru / Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.


Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower) , Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh.
Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.



Peta Atlantis menurut Arysio Nunes dos Santos dalam bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally Found terletak di Indonesia.
Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa.
Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.
Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk / posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”
Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni :
pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia.
Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.

Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau.
Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya.***

Prof. Arysio Nunes Dos Santos menerbitkan buku yang menggemparkan : “Atlantis The Lost Continents Finally Found”. Dimana ditemukannya ? Secara tegas dinyatakannya bahwa lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu itu adalah di Indonesia (?!). Selama ini, benua yang diceritakan Plato 2.500 tahun yang lalu itu adalah benua yang dihuni oleh bangsa Atlantis yang memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir dan gempa bumi sebagai hukuman dari yang Kuasa. Kisah Atlantis ini dibahas dari masa ke masa, dan upaya penelusuran terus pula dilakukan guna menemukan sisa-sisa peradaban tinggi yang telah dicapai oleh bangsa Atlantis itu.

buku karangan Prof. Arysio Nunes Dos Santos

Pencarian dilakukan di Samudera Atlantik, Laut Tengah, Karibia,bahama, sampai ke kutub Utara. Pencarian ini sama sekali tidak ada hasilnya, sehingga sebagian orang beranggapan bahwa yang diceritakan Plato itu hanyalah negeri dongeng semata. Profesor Santos yang ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak pernah ditemukan karena dicari di tempat yang salah. Lokasi yang benar secara menyakinkan adalah Indonesia, katanya..

Prof. Santos mengatakan bahwa dia sudah meneliti kemungkinan lokasi Atlantis selama 29 tahun terakhir ini. Ilmu yang digunakan Santos dalam menelusur lokasi Atlantis ini adalah ilmu Geologi, Astronomi, Paleontologi, Archeologi, Linguistik, Ethnologi, dan Comparative Mythology. Buku Santos sewaktu ditanyakan ke ‘Amazon.com’ seminggu yang lalu ternyata habis tidak bersisa. Bukunya ini terlink ke 400 buah sites di Internet, dan websitenya sendiri menurut Santos selama ini telah dikunjungi sebanyak 2.500.000 visitors. Ini adalah iklan gratis untuk mengenalkan Indonesia secara efektif ke dunia luar, yang tidak memerlukan dana 1 sen pun dari Pemerintah RI.


ilustrasi wilayah benua atlantis

Banyak sekali tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa atlantis adalah indonesia,yaitu :
1.Atlantis dulunya adalah wilayah yang subur dengan berbagai batuan Mulia
2.Daerah atlantis adalah daerah yang sangat subur
3.Lokasi atlantis adalah di daerah yang bermandikan sinar matahari (khatulistiwa)
4.Penduduk bangsa Atlantis dulunya adalah orang-orang yang cerdas
5.Banyak terdapat gunung-gunung yang menjulang di daerah Atlantis
6.Benua Atlantis adalah benua yang dikelingi oleh Samudra-samudra
7.Dan masih banyak lagi tanda-tanda yang lain (total ada 33 tanda,24 diantaranya ada
di Indonesia)

Banyak sekali daerah yang menjadi indikasi benua Atlantis,yaitu polinesia,Karibia,segitiga bermuda,Laut tengah,sampai kutub utara,tapi dari semua wilayah itu,indonesialah yang menjadi kandidat terkuat

Memecahkan Rahasia “Benua yang Hilang"
Atlantis, Benua yang Hilang Akhirnya Ditemukan (Atlantis the Lost Continents Finally Found), demikian judul buku karya Prof Arysio Nunes dos Santos yang dirilis pada bulan Agustus 2005. Dalam buku ini ia menjelaskan Teori tentang Atlantis dengan menggunakan argumen yang sangat luas dan kuat, dari yang bersifat ilmiah ketat, seperti Geologi, Linguistik, dan Antropologi, hingga yang lebih misterius dan gaib (Okultisme, Simbolisme, Mitologi, dll.)
Dos Santos adalah seorang ilmuwan profesional dengan gelar PhD dalam fisika nuklir dan dosen lepas Kimia-Fisik. Penulis ini telah mendedikasikan dirinya dengan sangat intensif untuk mempelajari masalah Atlantis paling tidak selama 30 tahun terakhir hingga kini. Dialah orang pertama yang menghubungkan peristiwa bencana Zaman Es terakhir (11.600 tahun lalu) dengan bencana air bah yang melanda seluruh dunia serta kehancuran Atlantis. Prof Santos berhasil menemukan situs yang sangat memenuhi syarat sebagai lokasi Benua yang Hilang. Ini merupakan temuan situs yang tak tertandingi sebagai situs yang paling logis yang pernah diusulkan, dan yang paling cocok dengan semua fitur yang disebutkan oleh filsuf Yunani Plato, dan juga yang telah disebutkan melalui sumber-sumber yang lain.

Pembaca akan dihadapkan dengan suatu fakta kenyataan berdasar bukti-bukti yang sangat kuat mengenai segala macam hal yang berkaitan dengan keberadaan Atlantis. Dan karena ditulis oleh seorang ilmuwan terkenal yang kompeten, maka cukup untuk mengguncang keyakinan bagi siapa saja, bahkan bagi orang yang paling skeptis sekalipun.


Di mana ditemukannya Atlantis?

Secara tegas dinyatakan oleh Prof Santos melalui bukunya tersebut bahwa, lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11600 tahun yang lalu itu adalah Indonesia.

Selama ini, benua yang diceritakan Plato 2500 tahun yang lalu itu adalah benua yang dihuni oleh bangsa Atlantis yang memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir dan gempa bumi sebagai hukuman dari para Dewa. Kisah Atlantis ini dibahas dari masa ke masa, dan upaya penelusuran pun terus dilakukan guna menemukan sisa-sisa peradaban tinggi yang telah dicapai oleh bangsa Atlantis itu.
Pencarian dilakukan di samudera Atlantik, Laut Tengah, Karibia, sampai ke Kutub Utara. Pencarian ini sama sekali tidak ada hasilnya, sehingga sebagian orang beranggapan bahwa yang diceritakan Plato itu hanyalah khayalan dari negeri dongeng semata.
Profesor Santos yang juga ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak pernah ditemukan karena dicari di tempat yang salah.
Lokasi yang benar secara meyakinkan berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan Santos, adalah Indonesia. Profesor Santos mengatakan bahwa dia sudah meneliti kemungkinan lokasi Atlantis selama hampir 30 tahun terakhir.
Ilmu yang digunakan Santos dalam menelusur lokasi Atlantis ini adalah ilmu Geologi, Astronomi, Paleontologi, Archeologi, Linguistik, Ethnologi, dan Komparative Mitologi. Bagi yang ingin mengetahui kualifikasi Santos secara lengkap dapat dilihat di alamat ini: http://atlan.org/author/resume.htm

Buku Santos ini yang diantaranya dipasarkan lewat ‘Amazon.com’ ternyata laris manis. Bahkan konon bukunya ini terlink ke lebih dari 400 buah situs di internet, dan website-nya sendiri menurut Santos hingga kini telah dikunjungi paling kurang sebanyak dua setengah juta pengunjung.
Bila pemerintah RI cukup tanggap dan peka, sebenarnya ini merupakan iklan gratis alias promosi untuk mengenalkan Indonesia secara efektif ke seantero jagat dengan tidak memerlukan dana kampanye serupiah pun.
Sebagaimana dapat diikuti dari website-nya, Plato menulis tentang Atlantis pada masa dimana Yunani masih menjadi pusat kebudayaan Dunia Barat (Western World). Sampai saat ini belum dapat diketahui secara pasti, apakah sang ahli filsafat ini hanya menceritakan sebuah mitos, moral fabel, science fiction, ataukah sebuah kisah sejarah yang sebenarnya. Ataukah pula dia menjelaskan sebuah fakta secara jujur bahwa Atlantis adalah sebuah realitas absolut?
Plato bercerita bahwa Atlantis adalah sebuah negara makmur dengan emas, batuan mulia, dan merupakan ‘mother of all civilazation’ dengan kerajaan berukuran benua yang menguasai pelayaran, perdagangan, ilmu metalurgi, memiliki jaringan irigasi dan transportasi yang baik, serta kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, dan olahraga yang sangat semarak. Warga Atlantis yang semula merupakan orang-orang terhormat dan kaya, kemudian berubah menjadi ambisius, egois dan hedonis. Para Dewa kemudian menghukum mereka dengan mendatangkan banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi yang demikian dahsyatnya sehingga menenggelamkan seluruh benua itu hingga ke dasar lautan.
Kisah-kisah sejenis atau mirip kisah Atlantis ini yang berakhir dengan bencana banjir dan gempa bumi, ternyata juga ditemui dalam kisah-kisah sakral tradisional di berbagai bagian dunia, yang umumnya diceritakan dalam bahasa lokal (setempat).
Menurut Santos, ukuran waktu yang diberikan Plato 11600 tahun BP (Before Present), secara tepat bersamaan dengan berakhirnya Zaman Es atau Zaman Pleistocene, yang juga menimbulkan bencana banjir dan gempa yang sangat hebat. Bencana ini menyebabkan punahnya 70% dari spesies mamalia yang hidup saat itu, termasuk kemungkinan juga dua spesies manusia, Neandertal dan Cro-Magnon.
Sebelum terjadinya bencana banjir menyeluruh itu, pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara masih menyatu dengan semenanjung Malaysia dan benua Asia.
Posisi Indonesia terletak pada 3 lempeng tektonis yang saling menekan, yang menimbulkan sederetan gunung berapi mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan terus ke Utara sampai ke Filipina yang merupakan bagian dari jalur api ‘Ring of Fire’.
Gunung utama yang disebutkan oleh Santos, yang memegang peranan penting dalam bencana ini adalah gunung Krakatau dan ‘sebuah gunung lain’ (kemungkinan gunung Toba). Sedangkan gunung lain yang disebut-sebut dalam kaitannya dengan kisah-kisah mitologi adalah gunung Semeru, gunung Agung, dan gunung Rinjani.
Bencana alam beruntun ini menurut Santos dimulai dengan ledakan dahsyat gunung Krakatau, yang memusnahkan seluruh gunung itu sendiri, dan membentuk sebuah kaldera besar yang sekarang menjadi selat Sunda yang memisahkan antara pulau Sumatera dan Jawa.
Letusan ini menimbulkan tsunami dengan gelombang laut yang sangat tinggi, yang kemudian menutupi dataran-dataran rendah di antara Sumatera dengan Semenanjung Malaysia, di antara Jawa dan Kalimantan, dan antara Sumatera dan Kalimantan.
Abu hasil letusan gunung Krakatau yang berupa ‘fly-ash’ naik tinggi ke udara dan ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu sebagian besar masih ditutup es (Zaman Es Pleistocene) . Abu ini kemudian turun dan menutupi lapisan es. Akibat adanya lapisan abu, es kemudian mencair sebagai akibat panas matahari yang diserap oleh lapisan abu tersebut.
Gletser di kutub Utara dan Eropa kemudian meleleh dan mengalir ke seluruh bagian bumi yang rendah, termasuk Indonesia. Banjir akibat tsunami dan lelehan es inilah yang menyebabkan air laut naik sekitar 130 meter di atas dataran rendah Indonesia. Dataran rendah di Indonesia tenggelam di bawah permukaan laut, dan yang tinggal adalah dataran tinggi dan puncak-puncak gunung berapi.
Tekanan air yang besar ini menimbulkan tarikan dan tekanan yang hebat pada lempeng-lempeng benua, yang selanjutnya menimbulkan letusan-letusan gunung berapi secara beruntun, dan disusul dengan gempa bumi yang dahsyat. Akibatnya adalah berakhirnya Zaman Es Pleistocene secara dramatis.


Dalam bukunya, Plato menyebutkan bahwa Atlantis adalah negara makmur yang bermandi matahari sepanjang waktu. Padahal zaman pada waktu itu adalah Zaman Es, dimana temperatur bumi secara menyeluruh adalah kira-kira 15 derajat Celcius lebih dingin dibanding saat ini. Lokasi yang bermandi sinar matahari pada waktu itu hanyalah Indonesia yang memang terletak di garis khatulistiwa.
Plato juga menyebutkan bahwa luas benua Atlantis yang hilang itu “….lebih besar dari Lybia (Afrika Utara) dan Asia Kecil digabung jadi satu…” Luas ini persis sama dengan luas kawasan Indonesia ditambah dengan luas Laut China Selatan.
Menurut Profesor Santos, para ahli yang umumnya berasal dari Barat, berkeyakinan teguh bahwa peradaban manusia berasal dari dunia mereka. Tapi realitas menunjukkan bahwa Atlantis berada di bawah perairan Indonesia dan bukan di tempat lain.
Santos telah menduga hal ini lebih dari 20 tahun yang lalu sewaktu dia mencermati tradisi-tradisi suci dari Yunani, Roma, Mesir, Mesopotamia, Phoenicia, Indian-Amerika, Hindu, Budha, dan Judeo-Christian. Walaupun dikisahkan dalam bahasa mereka masing-masing, ternyata istilah-istilah yang digunakan banyak yang merujuk ke hal atau kejadian yang sama.
Santos menyimpulkan bahwa penduduk Atlantis terdiri dari beberapa suku/etnis, dimana 2 buah suku terbesar adalah Arya dan Dravida. Semua suku bangsa ini sebelumya berasal dari Afrika 3 juta tahun yang lalu, yang kemudian menyebar ke seluruh Eropa, Asia dan ke Timur sampai ke Australia lebih kurang 1 juta tahun yang lalu. Di Indonesia mereka menemukan kondisi alam yang ideal untuk berkembang, yang menumbuhkan pengetahuan tentang pertanian serta peradaban secara menyeluruh. Ini terjadi pada zaman Pleistocene.

Pada Zaman Es itu, Atlantis adalah surga tropis dengan padang-padang yang indah, gunung, batu-batu mulia, berbagai jenis metal, parfum, sungai, danau, saluran irigasi, pertanian yang sangat produktif, istana emas dengan dinding-dinding perak, gajah, dan bermacam hewan liar lainnya.
Jadi menurut Prof Santos, hanya Indonesia-lah yang sekaya ini.
Ketika bencana yang diceritakan di atas terjadi, dimana air laut naik setinggi kira-kira 130 meter, penduduk Atlantis yang selamat terpaksa keluar dan pindah ke India, Asia Tenggara, China, Polynesia, serta Amerika melalui selat Bering.
Suku Arya yang bermigrasi ke India mula-mula pindah dan menetap di lembah Indus. Karena glatsier Himalaya juga mencair dan menimbulkan banjir di lembah Indus, mereka akhirnya bermigrasi lebih lanjut ke Mesir, Mesopotamia, Palestina, Afrika Utara, dan Asia Utara. Di tempat-tempat baru ini mereka kemudian berupaya mengembangkan kembali budaya Atlantis yang merupakan akar budaya mereka.
Catatan terbaik dari tenggelamnya benua Atlantis ini dicatat di India melalui tradisi-tradisi suci di daerah seperti Lanka, Kumari Kandan, Tripura, dan lain-lain. Mereka adalah pewaris dari budaya yang tenggelam tersebut. Sedang suku Dravida yang berkulit lebih gelap tetap tinggal di Indonesia .
Migrasi besar-besaran ini dapat menjelaskan timbulnya secara tiba-tiba atau seketika teknologi maju seperti pertanian, pengolahan batu mulia, metalurgi, agama, dan diatas semuanya adalah bahasa dan abjad di seluruh dunia selama masa yang disebut Neolithic Revolution. Bahasa-bahasa di seluruh dunia dapat ditelusur berasal dari Sanskerta dan Dravida. Karenanya bahasa-bahasa di dunia sangat maju dipandang dari gramatika dan semantik.

Contohnya adalah abjad. Semua abjad menunjukkan adanya “sidik jari” dari India yang pada masa itu merupakan bagian yang integral dari Indonesia. Dari Indonesialah lahir bibit-bibit peradaban yang kemudian berkembang menjadi budaya lembah Indus, Mesir, Mesopotamia, Hatti, Yunani, Minoan, Crete, Roma, Inka, Maya, Aztek, dan lain-lain.
Budaya-budaya ini mengenal mitos yang sangat mirip. Nama Atlantis diberbagai suku bangsa disebut sebagai Tala, Attala, Patala, Talatala, Thule, Tollan, Aztlan, Tluloc, dan lain-lain.
Itulah ringkasan teori Profesor Santos yang ingin membuktikan bahwa benua Atlantis yang hilang itu sebenarnya berada di Indonesia.
Bukti-bukti yang menguatkan Indonesia sebagai Atlantis, dibandingkan dengan lokasi alternatif lainnya disimpulkan Profesor Santos dalam suatu matriks yang disebutnya sebagai ‘
Terlepas dari benar atau tidaknya teori ini, atau dapat dibuktikannya atau tidak kelak keberadaan Atlantis di bawah laut Indonesia, teori Profesor Santos ini hingga sekarang ternyata mampu menarik perhatian orang-orang luar ke Indonesia.
Teori ini juga disusun dengan argumentasi atau hujjah yang cukup jelas dan kuat. Kalau ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia sekarang sama sekali “tidak meyakinkan” untuk dapat dikatakan sebagai nenek moyang dari bangsa-bangsa maju yang diturunkannya itu, maka ini adalah suatu proses maju atau mundurnya peradaban yang memakan waktu lebih dari sepuluh ribu tahun.
Contoh kecilnya, adalah perbandingan tentang orang Malaysia dan Indonesia; dimana 30-an tahun yang lalu mereka masih belajar dari kita, tapi sekarang mereka relatif sudah berada beberapa langkah di depan kita.
Allah SWT juga berfirman bahwa nasib manusia ini memang Dia pergilirkan. Yang hidup mulia (berkuasa) pada suatu saat akan menjadi hina (tertindas), dan sebaliknya. “… dan Kami mempergilirkan sejarah yang berlaku di antara manusia ….” (Surat Ali ‘Imran: 140) “Maka setelah datang keputusan Kami, Kami jadikan yang di atas menjadi yang di bawah ….” (Surat Hud: 82). Inilah “Cakra Manggilingan”, atau Roda Kehidupan yang senantiasa berputar.
Profesor Santos masih akan terus melakukan penelitian lapangan lebih lanjut guna lebih banyak lagi mendapatkan bukti atas teorinya. Kemajuan teknologi masa kini seperti satelit yang mampu memetakan dasar lautan, kapal selam mini untuk penelitian (sebagaimana yang digunakan untuk menemukan kapal ‘Titanic’), dan beragam peralatan canggih lainnya diharapkannya akan membantu mencari bukti-bukti pendukung yang kini diduga masih tersembunyi di dasar laut Indonesia.
Apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan bangsa Indonesia? Bagaimana pula para pakar dan ilmuwan Indonesia dari pelbagai disiplin ilmu menanggapi teori yang sebenarnya “mengangkat” Indonesia ke posisi yang sangat terhormat ini? Yakni Indonesia sebagai asal usul peradaban bangsa-bangsa seluruh dunia?
Dan beranikah kita mulai saat ini berpromosi ke seluruh dunia dengan slogan:
Indonesia, Truly Atlantis!