“Atlantis the
Lost Continents Finally Found”
( Prof.
Arysio Nunes dos Santos )
Prof.
Arysio Nunes dos Santos sarjana dan mahaguru ilmu fisika nuklir di Universitas
Minas Gerais, di Brazil, menerbitkan buku yang menggemparkan : “Atlantis the
Lost Continents Finally Found”. Secara tegas dinyatakannya bahwa lokasi
Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu itu adalah di
Indonesia. Buku Prof. Arysio N. dos Santos sewaktu ditanyakan ke ‘Amazon.com’
seminggu yang lalu ternyata habis tidak bersisa. Bukunya ini terlink ke 400
buah sites di Internet, dan websitenya sendiri menurut Santos selama ini telah
dikunjungi sebanyak 2.500.000 visits. Ini adalah iklan gratis untuk mengenalkan
Indonesia secara efektif.
Berkata
Prof. Arysio Nunes dos Santos, umumnya sarjana Barat tidak satupun yang
menyebutkan Indonesia. Hal itu disebabkan karena para penyelidik pada umumnya,
mendasarkan teori mereka pada unsur-unsur etnosentrik, sehingga tidak
terpikirkan oleh mereka bahwa tempat itu mungkin berada di bagian bumi yang
sama sekali lain.
Berkata
Prof. Arysio Nunes dos Santos, benua Atlantis yang digambarkan oleh Plato
adalah suatu dunia tropis, yang punya banyak hutan, sungai dan pohon
buah-buahan, yang kemudian tenggelam karena permukaan air laut naik ketika es
di kutub utara mencair. Hanya kawasan pegunungan saja yang tampak dari
permukaan laut. Rangkaian gunung berapi itu, kata Arysio, dulu disebut
Kepulauan Blest, yang sekarang bernama Indonesia.
Selama
ini, benua yang diceritakan Plato 2.500 tahun yang lalu itu adalah benua yang
dihuni oleh bangsa Atlantis yang memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan
alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh
bencana banjir dan gempa bumi. Kisah Atlantis ini dibahas dari masa ke masa,
dan upaya penelusuran terus pula dilakukan guna menemukan sisa-sisa peradaban
tinggi yang telah dicapai oleh bangsa Atlantis itu.
Pencarian
dilakukan di samudera Atlantik, Laut Tengah, Caribea, sampai ke kutub Utara.
Pencarian ini sama sekali tidak ada hasilnya, sehingga sebagian orang
beranggapan bahwa yang diceritakan Plato itu hanyalah negeri dongeng semata.
Profesor
Santos yang ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak pernah
ditemukan karena dicari di tempat yang salah. Lokasi yang benar secara
menyakinkan adalah Indonesia, katanya. Dia mengatakan bahwa dia sudah meneliti
kemungkinan lokasi Atlantis selama 29 tahun terakhir ini. Ilmu yang digunakan
Profesor Santos dalam menelusur lokasi Atlantis ini adalah ilmu Geologi,
Astronomi, Paleontologi, Archeologi, Linguistik, Ethnologi, dan Comparative
Mythology.
Penelitian
mutakhir yang dilakukan oleh Prof. Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis itu
adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian
selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally
Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005).
Profesor Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca,
kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan
bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas
Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur,
Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Bukan
kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi
Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya
merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi
Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan
ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang
menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.
Prof.
Aryso Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang
membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan,
terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di
wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh
samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik.
Atlantis
berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan
(watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa
wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam
bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato
menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada
masanya, ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera
(ocean) secara menyeluruh. Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang
berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh
ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan
Stephen Hawking.
Prof.
Aryso Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. ilmuwan Brazil it
berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu,
menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya
bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani
samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di
dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa.
Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara
beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya
Heinrich Events.
Dalam
usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato
telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang
katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di
Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika
Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua
yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang
berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada
Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.” Namun, ada beberapa keadaan
masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi
benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai
wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung
berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar,
Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian
dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.
Ketiga,
soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air
laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah
di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan
impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in
navigable (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus
di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang
menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan
kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau.
Benua Atlantis & Peradaban Awal Umat Manusia
Para
peneliti AS menyatakan bahwa Atlantis is Indonesia. Hingga kini cerita tentang
benua yang hilang ‘Atlantis’ masih terselimuti kabut misteri.
Sebagian
orang menganggap Atlantis cuma dongeng belaka, meski tak kurang 5.000 buku soal
Atlantis telah ditulis oleh para pakar.
Bagi
para arkeolog atau oceanografer modern, Atlantis tetap merupakan objek menarik
terutama soal teka-teki dimana sebetulnya lokasi sang benua. Banyak ilmuwan
menyebut benua Atlantis terletak di Samudera Atlantik.
Sebagian
arkeolog Amerika Serikat (AS) bahkan meyakini benua Atlantis dulunya adalah
sebuah pulau besar bernama Sunda Land, suatu wilayah yang kini ditempati
Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11,600 tahun silam, benua itu tenggelam
diterjang banjir besar seiring berakhirnya zaman ais
“Para
peneliti AS ini menyatakan bahwa Atlantis is Indonesia,” kata Ketua Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Umar Anggara Jenny, Jumat(17/6), di
sela-sela rencana gelaran ‘International Symposium on The Dispersal of
Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia Archipelago, 28-30
Juni 2005.
Kata
Umar, dalam dua dekade terakhir memang diperoleh banyak temuan penting soal
penyebaran dan asal usul manusia. Salah satu temuan penting ini adalah hipotesa
adanya sebuah pulau besar sekali di Laut Cina Selatan yang tenggelam setelah
zaman ais.
Hipotesis
itu, kata Umar, berdasarkan pada kajian ilmiah seiring makin mutakhirnya
pengetahuan tentang arkeologimolekuler. Tema ini, lanjutnya, bahkan akan
menjadi salah satu hal yang diangkat dalam simposium internasional di Solo,
28-30 Juni.
Menurut
Umar, salah satu pulau penting yang tersisa dari benua Atlantis - jika memang
benar – adalah Pulau Natuna, Riau. Berdasarkan kajian biomolekuler, penduduk
asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip dengan bangsa Austronesia tertua.
Bangsa
Austronesia diyakini memiliki tingkat kebudayaan tinggi, seperti bayangan
tentang bangsa Atlantis yang disebut-sebut dalam mitos Plato.Ketika zaman es
berakhir, yang ditandai tenggelamnya ‘benua Atlantis’, bangsa Austronesia
menyebar ke berbagai penjuru.
Mereka
lalu menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang
disinggahinya dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau.
Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.
Ketua
Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Harry Truman Simanjuntak, mengakui
memang ada pendapat dari sebagian pakar yang menyatakan bahwa benua Atlantis
terletak di Indonesia. Namun hal itu masih debatable.
Yang
jelas, terang Harry, memang benar ada sebuah daratan besar yang dahulukala
bernama Sunda Land. Luas daratan itu kira-kira dua kali negara India.
“Benar,
daratan itu hilang. Dan kini tinggal Sumatra, Jawa atau Kalimantan,” terang
Harry. Menurut dia, sah-sah saja para ilmuwan mengatakan bahwa wilayah yang
tenggelam itu adalah benua Atlantis yang hilang, meski itu masih menjadi
perdebatan.
Dominasi
Austronesia Menurut Umar Anggara Jenny, Austronesia sebagai rumpun bahasa
merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah manusia. Rumpun ini memiliki
sebaran yang paling luas, mencakup lebih dari 1.200 bahasa yang tersebar dari
Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur. Bahasa tersebut kini
dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang.
“Pertanyaannya
dari mana asal-usul mereka? Mengapa sebarannya begitu meluas dan cepat yakni
dalam 3500-5000 tahun yang lalu. Bagaimana cara adaptasinya sehingga memiliki
keragaman budaya yang tinggi,” tutur Umar.
Salah
satu teori, menurut Harry Truman, mengatakan penutur bahasa Austronesia berasal
dari Sunda Land yang tenggelam di akhir zaman es.Populasi yang sudah maju,
proto-Austronesia, menyebar hingga ke Asia daratan hingga ke Mesopotamia,
mempengaruhi penduduk lokal dan mengembangkan peradaban. “Tapi ini masih
diperdebatan.
Indonesia
adalah wilayah ahli waris Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat
kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada
masanya ialah pusat peradaban dunia.
MUSIBAH
alam beruntun dialami Indonesia. Mulai dari tsunami di Aceh hingga yang
mutakhir semburan lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu mengingatkan kita pada
peristiwa serupa di wilayah yang dikenal sebagai Benua Atlantis. Apakah ada
hubungan antara Indonesia dan Atlantis?
Gambaran
tentang Benua Atlantis sepenuhnya bersumber dari Catatan Plato (427 – 347 SM)
dalam dua karyanya, yaitu Timaeus dan Critias. dalam bukunya yang diberi judul
Timaeus, Plato bercerita sangat menarik tentang Atlantis, Berikut ini
kutipannya:
“
Di hadapan Selat Mainstay Haigelisi, ada sebuah pulau yang sangat besar, dari
sana kalian dapat pergi ke pulau lainnya, di depan pulau-pulau itu adalah
seluruhnya daratan yang dikelilingi laut samudera, itu adalah kerajaan
Atlantis. Ketika itu Atlantis baru akan melancarkan perang besar dengan Athena,
namun di luar dugaan, Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir, tidak
sampai sehari semalam, tenggelam sama sekali di dasar laut, negara besar yang
melampaui peradaban tinggi, lenyap dalam semalam.”
Terjemahan
Latin Timaeus, dibuat pada abad pertengahan.
Plato
menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi
secara serentak, menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu
mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya
benua yang hilang atau Atlantis.
Penelitian
mutakhir yang dilakukan oleh Prof. Arysio Nunes dos Santos, seorang atlantolog,
geolog, dan fisikawan nuklir asal Brazil, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah
wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30
tahun, ia mempublikasikan hasil penelitiannya dalam sebuah buku : Atlantis, The
Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost
Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah,
cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya
menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang
khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur,
Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Konteks
Indonesia
Bukan
kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi
Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya
merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi
Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan
ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang
menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.
Santos
menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang
dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah
timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu
terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang
menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Teori
Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan
gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar
bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene). Dengan
meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak
di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput
oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India
Selatan dan gunung Semeru / Sumeru / Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan
gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang
merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat
di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera
dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.
Atlantis
berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan
(watch tower) , Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa
wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam
bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato
menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada
masanya, ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera
(ocean) secara menyeluruh.
Ocean
berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara
menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari
seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.
Peta
Atlantis menurut Arysio Nunes dos Santos dalam bukunya Atlantis, The Lost
Continent Finally Found terletak di Indonesia.
Santos
berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu
berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu,
menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya
bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani
samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di
dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa.
Gempa
ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan
menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich
Events.
Dalam
usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato
telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk / posisi bumi yang
katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di
Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika
Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua
yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang
berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada
Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”
Namun,
ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni :
pertama,
bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos
dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia.
Kedua,
jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya
ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi,
Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau
sedang aktif kembali.
Ketiga,
soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air
laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah
di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan
impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in
navigable (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus
di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang
menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan
kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau.
Bahwa
Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus
membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional,
sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah
yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya
kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan
mutakhir untuk dapat mengatasinya.***
Prof.
Arysio Nunes Dos Santos menerbitkan buku yang menggemparkan : “Atlantis The
Lost Continents Finally Found”. Dimana ditemukannya ? Secara tegas
dinyatakannya bahwa lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun
yang lalu itu adalah di Indonesia (?!). Selama ini, benua yang diceritakan
Plato 2.500 tahun yang lalu itu adalah benua yang dihuni oleh bangsa Atlantis
yang memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya,
yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir dan gempa bumi
sebagai hukuman dari yang Kuasa. Kisah Atlantis ini dibahas dari masa ke masa,
dan upaya penelusuran terus pula dilakukan guna menemukan sisa-sisa peradaban
tinggi yang telah dicapai oleh bangsa Atlantis itu.
buku
karangan Prof. Arysio Nunes Dos Santos
Pencarian
dilakukan di Samudera Atlantik, Laut Tengah, Karibia,bahama, sampai ke kutub
Utara. Pencarian ini sama sekali tidak ada hasilnya, sehingga sebagian orang
beranggapan bahwa yang diceritakan Plato itu hanyalah negeri dongeng semata.
Profesor Santos yang ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak
pernah ditemukan karena dicari di tempat yang salah. Lokasi yang benar secara
menyakinkan adalah Indonesia, katanya..
Prof.
Santos mengatakan bahwa dia sudah meneliti kemungkinan lokasi Atlantis selama
29 tahun terakhir ini. Ilmu yang digunakan Santos dalam menelusur lokasi
Atlantis ini adalah ilmu Geologi, Astronomi, Paleontologi, Archeologi,
Linguistik, Ethnologi, dan Comparative Mythology. Buku Santos sewaktu
ditanyakan ke ‘Amazon.com’ seminggu yang lalu ternyata habis tidak bersisa.
Bukunya ini terlink ke 400 buah sites di Internet, dan websitenya sendiri
menurut Santos selama ini telah dikunjungi sebanyak 2.500.000 visitors. Ini
adalah iklan gratis untuk mengenalkan Indonesia secara efektif ke dunia luar,
yang tidak memerlukan dana 1 sen pun dari Pemerintah RI.
ilustrasi
wilayah benua atlantis
Banyak
sekali tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa atlantis adalah indonesia,yaitu :
1.Atlantis
dulunya adalah wilayah yang subur dengan berbagai batuan Mulia
2.Daerah
atlantis adalah daerah yang sangat subur
3.Lokasi
atlantis adalah di daerah yang bermandikan sinar matahari (khatulistiwa)
4.Penduduk
bangsa Atlantis dulunya adalah orang-orang yang cerdas
5.Banyak
terdapat gunung-gunung yang menjulang di daerah Atlantis
6.Benua
Atlantis adalah benua yang dikelingi oleh Samudra-samudra
7.Dan
masih banyak lagi tanda-tanda yang lain (total ada 33 tanda,24 diantaranya ada
di
Indonesia)
Banyak
sekali daerah yang menjadi indikasi benua Atlantis,yaitu
polinesia,Karibia,segitiga bermuda,Laut tengah,sampai kutub utara,tapi dari
semua wilayah itu,indonesialah yang menjadi kandidat terkuat
Memecahkan
Rahasia “Benua yang Hilang"
Atlantis,
Benua yang Hilang Akhirnya Ditemukan (Atlantis the Lost Continents Finally
Found), demikian judul buku karya Prof Arysio Nunes dos Santos yang dirilis
pada bulan Agustus 2005. Dalam buku ini ia menjelaskan Teori tentang Atlantis
dengan menggunakan argumen yang sangat luas dan kuat, dari yang bersifat ilmiah
ketat, seperti Geologi, Linguistik, dan Antropologi, hingga yang lebih
misterius dan gaib (Okultisme, Simbolisme, Mitologi, dll.)
Dos
Santos adalah seorang ilmuwan profesional dengan gelar PhD dalam fisika nuklir
dan dosen lepas Kimia-Fisik. Penulis ini telah mendedikasikan dirinya dengan
sangat intensif untuk mempelajari masalah Atlantis paling tidak selama 30 tahun
terakhir hingga kini. Dialah orang pertama yang menghubungkan peristiwa bencana
Zaman Es terakhir (11.600 tahun lalu) dengan bencana air bah yang melanda
seluruh dunia serta kehancuran Atlantis. Prof Santos berhasil menemukan situs
yang sangat memenuhi syarat sebagai lokasi Benua yang Hilang. Ini merupakan
temuan situs yang tak tertandingi sebagai situs yang paling logis yang pernah
diusulkan, dan yang paling cocok dengan semua fitur yang disebutkan oleh filsuf
Yunani Plato, dan juga yang telah disebutkan melalui sumber-sumber yang lain.
Pembaca
akan dihadapkan dengan suatu fakta kenyataan berdasar bukti-bukti yang sangat
kuat mengenai segala macam hal yang berkaitan dengan keberadaan Atlantis. Dan
karena ditulis oleh seorang ilmuwan terkenal yang kompeten, maka cukup untuk
mengguncang keyakinan bagi siapa saja, bahkan bagi orang yang paling skeptis
sekalipun.
Di
mana ditemukannya Atlantis?
Secara
tegas dinyatakan oleh Prof Santos melalui bukunya tersebut bahwa, lokasi
Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11600 tahun yang lalu itu adalah
Indonesia.
Selama
ini, benua yang diceritakan Plato 2500 tahun yang lalu itu adalah benua yang
dihuni oleh bangsa Atlantis yang memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan
alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh
bencana banjir dan gempa bumi sebagai hukuman dari para Dewa. Kisah Atlantis
ini dibahas dari masa ke masa, dan upaya penelusuran pun terus dilakukan guna
menemukan sisa-sisa peradaban tinggi yang telah dicapai oleh bangsa Atlantis
itu.
Pencarian
dilakukan di samudera Atlantik, Laut Tengah, Karibia, sampai ke Kutub Utara.
Pencarian ini sama sekali tidak ada hasilnya, sehingga sebagian orang
beranggapan bahwa yang diceritakan Plato itu hanyalah khayalan dari negeri
dongeng semata.
Profesor
Santos yang juga ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak pernah
ditemukan karena dicari di tempat yang salah.
Lokasi
yang benar secara meyakinkan berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan Santos,
adalah Indonesia. Profesor Santos mengatakan bahwa dia sudah meneliti
kemungkinan lokasi Atlantis selama hampir 30 tahun terakhir.
Ilmu
yang digunakan Santos dalam menelusur lokasi Atlantis ini adalah ilmu Geologi,
Astronomi, Paleontologi, Archeologi, Linguistik, Ethnologi, dan Komparative
Mitologi. Bagi yang ingin mengetahui kualifikasi Santos secara lengkap dapat
dilihat di alamat ini: http://atlan.org/author/resume.htm
Buku
Santos ini yang diantaranya dipasarkan lewat ‘Amazon.com’ ternyata laris manis.
Bahkan konon bukunya ini terlink ke lebih dari 400 buah situs di internet, dan
website-nya sendiri menurut Santos hingga kini telah dikunjungi paling kurang
sebanyak dua setengah juta pengunjung.
Bila
pemerintah RI cukup tanggap dan peka, sebenarnya ini merupakan iklan gratis
alias promosi untuk mengenalkan Indonesia secara efektif ke seantero jagat
dengan tidak memerlukan dana kampanye serupiah pun.
Sebagaimana
dapat diikuti dari website-nya, Plato menulis tentang Atlantis pada masa dimana
Yunani masih menjadi pusat kebudayaan Dunia Barat (Western World). Sampai saat
ini belum dapat diketahui secara pasti, apakah sang ahli filsafat ini hanya
menceritakan sebuah mitos, moral fabel, science fiction, ataukah sebuah kisah
sejarah yang sebenarnya. Ataukah pula dia menjelaskan sebuah fakta secara jujur
bahwa Atlantis adalah sebuah realitas absolut?
Plato
bercerita bahwa Atlantis adalah sebuah negara makmur dengan emas, batuan mulia,
dan merupakan ‘mother of all civilazation’ dengan kerajaan berukuran benua yang
menguasai pelayaran, perdagangan, ilmu metalurgi, memiliki jaringan irigasi dan
transportasi yang baik, serta kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, dan
olahraga yang sangat semarak. Warga Atlantis yang semula merupakan orang-orang
terhormat dan kaya, kemudian berubah menjadi ambisius, egois dan hedonis. Para
Dewa kemudian menghukum mereka dengan mendatangkan banjir, letusan gunung berapi,
dan gempa bumi yang demikian dahsyatnya sehingga menenggelamkan seluruh benua
itu hingga ke dasar lautan.
Kisah-kisah
sejenis atau mirip kisah Atlantis ini yang berakhir dengan bencana banjir dan
gempa bumi, ternyata juga ditemui dalam kisah-kisah sakral tradisional di
berbagai bagian dunia, yang umumnya diceritakan dalam bahasa lokal (setempat).
Menurut
Santos, ukuran waktu yang diberikan Plato 11600 tahun BP (Before Present),
secara tepat bersamaan dengan berakhirnya Zaman Es atau Zaman Pleistocene, yang
juga menimbulkan bencana banjir dan gempa yang sangat hebat. Bencana ini
menyebabkan punahnya 70% dari spesies mamalia yang hidup saat itu, termasuk
kemungkinan juga dua spesies manusia, Neandertal dan Cro-Magnon.
Sebelum
terjadinya bencana banjir menyeluruh itu, pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan
Nusa Tenggara masih menyatu dengan semenanjung Malaysia dan benua Asia.
Posisi
Indonesia terletak pada 3 lempeng tektonis yang saling menekan, yang
menimbulkan sederetan gunung berapi mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara,
dan terus ke Utara sampai ke Filipina yang merupakan bagian dari jalur api
‘Ring of Fire’.
Gunung
utama yang disebutkan oleh Santos, yang memegang peranan penting dalam bencana
ini adalah gunung Krakatau dan ‘sebuah gunung lain’ (kemungkinan gunung Toba).
Sedangkan gunung lain yang disebut-sebut dalam kaitannya dengan kisah-kisah
mitologi adalah gunung Semeru, gunung Agung, dan gunung Rinjani.
Bencana
alam beruntun ini menurut Santos dimulai dengan ledakan dahsyat gunung
Krakatau, yang memusnahkan seluruh gunung itu sendiri, dan membentuk sebuah
kaldera besar yang sekarang menjadi selat Sunda yang memisahkan antara pulau
Sumatera dan Jawa.
Letusan
ini menimbulkan tsunami dengan gelombang laut yang sangat tinggi, yang kemudian
menutupi dataran-dataran rendah di antara Sumatera dengan Semenanjung Malaysia,
di antara Jawa dan Kalimantan, dan antara Sumatera dan Kalimantan.
Abu
hasil letusan gunung Krakatau yang berupa ‘fly-ash’ naik tinggi ke udara dan
ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu sebagian besar masih
ditutup es (Zaman Es Pleistocene) . Abu ini kemudian turun dan menutupi lapisan
es. Akibat adanya lapisan abu, es kemudian mencair sebagai akibat panas
matahari yang diserap oleh lapisan abu tersebut.
Gletser
di kutub Utara dan Eropa kemudian meleleh dan mengalir ke seluruh bagian bumi
yang rendah, termasuk Indonesia. Banjir akibat tsunami dan lelehan es inilah
yang menyebabkan air laut naik sekitar 130 meter di atas dataran rendah
Indonesia. Dataran rendah di Indonesia tenggelam di bawah permukaan laut, dan
yang tinggal adalah dataran tinggi dan puncak-puncak gunung berapi.
Tekanan
air yang besar ini menimbulkan tarikan dan tekanan yang hebat pada
lempeng-lempeng benua, yang selanjutnya menimbulkan letusan-letusan gunung
berapi secara beruntun, dan disusul dengan gempa bumi yang dahsyat. Akibatnya
adalah berakhirnya Zaman Es Pleistocene secara dramatis.
Dalam
bukunya, Plato menyebutkan bahwa Atlantis adalah negara makmur yang bermandi
matahari sepanjang waktu. Padahal zaman pada waktu itu adalah Zaman Es, dimana
temperatur bumi secara menyeluruh adalah kira-kira 15 derajat Celcius lebih
dingin dibanding saat ini. Lokasi yang bermandi sinar matahari pada waktu itu
hanyalah Indonesia yang memang terletak di garis khatulistiwa.
Plato
juga menyebutkan bahwa luas benua Atlantis yang hilang itu “….lebih besar dari
Lybia (Afrika Utara) dan Asia Kecil digabung jadi satu…” Luas ini persis sama
dengan luas kawasan Indonesia ditambah dengan luas Laut China Selatan.
Menurut
Profesor Santos, para ahli yang umumnya berasal dari Barat, berkeyakinan teguh
bahwa peradaban manusia berasal dari dunia mereka. Tapi realitas menunjukkan
bahwa Atlantis berada di bawah perairan Indonesia dan bukan di tempat lain.
Santos
telah menduga hal ini lebih dari 20 tahun yang lalu sewaktu dia mencermati
tradisi-tradisi suci dari Yunani, Roma, Mesir, Mesopotamia, Phoenicia,
Indian-Amerika, Hindu, Budha, dan Judeo-Christian. Walaupun dikisahkan dalam
bahasa mereka masing-masing, ternyata istilah-istilah yang digunakan banyak
yang merujuk ke hal atau kejadian yang sama.
Santos
menyimpulkan bahwa penduduk Atlantis terdiri dari beberapa suku/etnis, dimana 2
buah suku terbesar adalah Arya dan Dravida. Semua suku bangsa ini sebelumya
berasal dari Afrika 3 juta tahun yang lalu, yang kemudian menyebar ke seluruh
Eropa, Asia dan ke Timur sampai ke Australia lebih kurang 1 juta tahun yang
lalu. Di Indonesia mereka menemukan kondisi alam yang ideal untuk berkembang,
yang menumbuhkan pengetahuan tentang pertanian serta peradaban secara
menyeluruh. Ini terjadi pada zaman Pleistocene.
Pada
Zaman Es itu, Atlantis adalah surga tropis dengan padang-padang yang indah,
gunung, batu-batu mulia, berbagai jenis metal, parfum, sungai, danau, saluran
irigasi, pertanian yang sangat produktif, istana emas dengan dinding-dinding
perak, gajah, dan bermacam hewan liar lainnya.
Jadi
menurut Prof Santos, hanya Indonesia-lah yang sekaya ini.
Ketika
bencana yang diceritakan di atas terjadi, dimana air laut naik setinggi
kira-kira 130 meter, penduduk Atlantis yang selamat terpaksa keluar dan pindah
ke India, Asia Tenggara, China, Polynesia, serta Amerika melalui selat Bering.
Suku
Arya yang bermigrasi ke India mula-mula pindah dan menetap di lembah Indus.
Karena glatsier Himalaya juga mencair dan menimbulkan banjir di lembah Indus,
mereka akhirnya bermigrasi lebih lanjut ke Mesir, Mesopotamia, Palestina,
Afrika Utara, dan Asia Utara. Di tempat-tempat baru ini mereka kemudian
berupaya mengembangkan kembali budaya Atlantis yang merupakan akar budaya
mereka.
Catatan
terbaik dari tenggelamnya benua Atlantis ini dicatat di India melalui
tradisi-tradisi suci di daerah seperti Lanka, Kumari Kandan, Tripura, dan
lain-lain. Mereka adalah pewaris dari budaya yang tenggelam tersebut. Sedang
suku Dravida yang berkulit lebih gelap tetap tinggal di Indonesia .
Migrasi
besar-besaran ini dapat menjelaskan timbulnya secara tiba-tiba atau seketika
teknologi maju seperti pertanian, pengolahan batu mulia, metalurgi, agama, dan
diatas semuanya adalah bahasa dan abjad di seluruh dunia selama masa yang
disebut Neolithic Revolution. Bahasa-bahasa di seluruh dunia dapat ditelusur
berasal dari Sanskerta dan Dravida. Karenanya bahasa-bahasa di dunia sangat
maju dipandang dari gramatika dan semantik.
Contohnya
adalah abjad. Semua abjad menunjukkan adanya “sidik jari” dari India yang pada
masa itu merupakan bagian yang integral dari Indonesia. Dari Indonesialah lahir
bibit-bibit peradaban yang kemudian berkembang menjadi budaya lembah Indus,
Mesir, Mesopotamia, Hatti, Yunani, Minoan, Crete, Roma, Inka, Maya, Aztek, dan
lain-lain.
Budaya-budaya
ini mengenal mitos yang sangat mirip. Nama Atlantis diberbagai suku bangsa
disebut sebagai Tala, Attala, Patala, Talatala, Thule, Tollan, Aztlan, Tluloc,
dan lain-lain.
Itulah
ringkasan teori Profesor Santos yang ingin membuktikan bahwa benua Atlantis
yang hilang itu sebenarnya berada di Indonesia.
Bukti-bukti
yang menguatkan Indonesia sebagai Atlantis, dibandingkan dengan lokasi
alternatif lainnya disimpulkan Profesor Santos dalam suatu matriks yang
disebutnya sebagai ‘
Terlepas
dari benar atau tidaknya teori ini, atau dapat dibuktikannya atau tidak kelak
keberadaan Atlantis di bawah laut Indonesia, teori Profesor Santos ini hingga
sekarang ternyata mampu menarik perhatian orang-orang luar ke Indonesia.
Teori
ini juga disusun dengan argumentasi atau hujjah yang cukup jelas dan kuat.
Kalau ada yang beranggapan bahwa kualitas bangsa Indonesia sekarang sama sekali
“tidak meyakinkan” untuk dapat dikatakan sebagai nenek moyang dari
bangsa-bangsa maju yang diturunkannya itu, maka ini adalah suatu proses maju
atau mundurnya peradaban yang memakan waktu lebih dari sepuluh ribu tahun.
Contoh
kecilnya, adalah perbandingan tentang orang Malaysia dan Indonesia; dimana
30-an tahun yang lalu mereka masih belajar dari kita, tapi sekarang mereka
relatif sudah berada beberapa langkah di depan kita.
Allah
SWT juga berfirman bahwa nasib manusia ini memang Dia pergilirkan. Yang hidup
mulia (berkuasa) pada suatu saat akan menjadi hina (tertindas), dan sebaliknya.
“… dan Kami mempergilirkan sejarah yang berlaku di antara manusia ….” (Surat
Ali ‘Imran: 140) “Maka setelah datang keputusan Kami, Kami jadikan yang di atas
menjadi yang di bawah ….” (Surat Hud: 82). Inilah “Cakra Manggilingan”, atau
Roda Kehidupan yang senantiasa berputar.
Profesor
Santos masih akan terus melakukan penelitian lapangan lebih lanjut guna lebih
banyak lagi mendapatkan bukti atas teorinya. Kemajuan teknologi masa kini
seperti satelit yang mampu memetakan dasar lautan, kapal selam mini untuk penelitian
(sebagaimana yang digunakan untuk menemukan kapal ‘Titanic’), dan beragam
peralatan canggih lainnya diharapkannya akan membantu mencari bukti-bukti
pendukung yang kini diduga masih tersembunyi di dasar laut Indonesia.
Apa
yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan bangsa Indonesia? Bagaimana pula para
pakar dan ilmuwan Indonesia dari pelbagai disiplin ilmu menanggapi teori yang
sebenarnya “mengangkat” Indonesia ke posisi yang sangat terhormat ini? Yakni
Indonesia sebagai asal usul peradaban bangsa-bangsa seluruh dunia?
Dan
beranikah kita mulai saat ini berpromosi ke seluruh dunia dengan slogan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar